Monday, June 15, 2009
Ceritera Yang Kedua - Muhammad Haji Salleh


"Maka pada malam itu dipandang oleh Wan Empuk dan Wan Malini dari rumahnya,

di atas Bukit Siguntang itu bernyala-nyala seperti api"




i

Malam mulai pasang
dua orang gadis bersandar di depan senja
menunggu padi menyusu.
Penantian melonglaikan gerak waktu.
Di waktu antara siang dan malam
halaman serasa luas hujungnya,
alun langit di atasnya sesayu arus
ada bulan muda di pucuk Siguntang samar,
menyalutkan cahaya tipis pada pucuk padi,
daun-daun tertinggi jelutung dan kapur hutan,
sepi meresap ke akar tumbuhan,
melayang ke telinga mergastua,
tiada bunyi burung
tiada riang-riang yang menjeritkan gelap malam.
Mereka pun tiada berkata, tiada kata yang datang,
seperti ada pembersih yang takut mencacatkan
kebeningan lereng dan lembah.

ii

Dari puncak Bukit Siguntang
terkelip kuning lembut putik cahaya,
terketar di udara, berdaun halus apinya,
sejenak memancar seperti bintang timur,
Empuk memegang tangan Malini,
kehairanan dialir takut.

Mereka himpunkan pandangan
di pusar putik cahaya
seperti memeliharanya dengan kehendak,
untuk dikekalkan indahnya di gunung sungainya.

Sungai sempurna
ditakung oleh batu gunung
diberhentikan oleh sungai.

Daun api melenggok turun
mengajak mata mencari bersamanya,
zatnya menyerap ke buah padi kuning berhijau.
Dari pondok Empuk dan Malini
tampak cahaya cakerawala mulai merah jauh
mengerdip perlahan dengan alir,
sungai bergerak menjadi kuning matang.

Seperti air di awal tengkujuh
warna itu bergulung membalut akar, melonjak di batang
terus tersedut urat daun lebar pohon-pohon.

Emas buahnya
dan daunnya perak
di atas langit cerahnya
di bawah emas dan perak membiak.
Terketar batang padi sebukit
seperti digoncang sepadang tikus,
umbinya pecah dari kepal tanah
dialiri tembaga-suasa
perak mengilau di tiap rumpun
di ladang di lereng Siguntang,
meriah, dilihat oleh hutan dan bukit-bukit.

Hampir subuh usia malam,
di kala bintang mulai pudar
dan langit pucat seperti pipi gadis,
bayu pun berhembus
dari puncak yang menurunkan api
sesenja tadi,
menyapu lembut di celah pohon-pohon hutan,
perlahan, dengan perlahan rentak alam,
cahaya itu berpindah
dari tangkai ke tangkai
memanjat lorong ke bukit
menaiki tiap rumpun,
air emas menjalar
seperti api jeram,
tetapi lebih perlahan,
lebih lembut,
di dalam lindungan bukit dan sunyi.
Padi cahaya berkerlipan,
yang nyata jadi mimpi.

Selesailah sawah diemaskan buahnya
bekulah bendang di ruyung malam
hanya kuning pinang saja memercik lunak
seperti bunga jambu dari pucuknya.

Maka sejurus itu sempadan bawah pun
dicurah fajar
yang segera memberat logam, jelmaan perak,
zat cairnya berlari
ke urat dan ke lebar daun.

Apabila lidah bayu menyentuh buah padi
gemerincinglah tanaman
bunyinya tersirap dari sebendang tangkai
berdengung, didengungkan oleh batu-batu bukit.

Berkeleneng daun-daun perak,
bunyinya halus, nipis di dalam udara manis
lembut seperti loceng angin
oleh pandai perak,
sayu dan sedih,
batang suasa berdenting di lereng dan di tanah
dipukul oleh angin pemain irama
meletak rentak pada buah dan daun.

Tiapkali bayu berubah arah
iramanya bertukar,
lagu alam dimainkan gamelan alam.


related posts:

0 comments:

Blog Widget by LinkWithin